[6] [WAHABI] [slider-top-big] [WAHABI]

IBNU TAIMIYAH

| No comment
 IBNU TAIMIYAH (Wafat tahun 1328 M.)

A. Sejarah Ringkasnya
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyuddin, Abdul Abbas bin Syihabuddin, Abu Mahasin Abd. Halim bin Majduddin, Abi Barakat Abdissalam bin Abi Muhammad Abdillah bin Abi Utsman al Khadar, bin Muhammad bin Al Khadar bin Ali bin Abdillah.
Famili ini dinamai Ibnu Taimiyah.

Sepanjang sejarah, bahwa asal perkataan “Taimiyah” adalah dari kakeknya yang  bernama Muhammad bin Al Khadar. Beliau ketika naik haji ke Mekkah melalui jalan Taima’.
Sekembalinya dari haji ia dapati isterinya melahirkan seorang anak perempuan, yang kemudian diberi nama Taimiyah dan keturunannya dinamai Keturunan Ibnu Taimiyah.
Ahmad Taqiyuddin, yang kemudian dimasyhurkan dengan Ibnu Taimiyah saja, lahir di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina, tanggal 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H.
Daerah Heran ini terkenal sedari dulu sebagai daerah Kristen Shabiin dan pola daerah orang pandai-pandai, ahli filsafat yang selalu mempermainkan akal.
Desa ini didiami bukan oleh suku Arab tetapi oleh suku Kurdi, maka karena itu Ahmad Taqiyuddin bukanlah dari bangsa Arab tetapi dari suku Kurdi.
Ia dari kecil belajar agama dari bapaknya, Syihabuddin. Syihabuddin adalah seorang Ulama penganut Madzhab Hanbali, begitu juga bapak Syihabuddin (nenek Ibnu Taimiyah) Majduddin juga ulama besar penganut Madzhab Hanbali.
Setelah usia 7 tahun, yaitu tahun 667 H. Seluruh famili Ibnu Taimiyah ini mengungsi ke Damsyik, Syria, karena desanya mungkin akan diserang oleh orang kafir, tentara Tartar, yang ketika itu sudah menduduki Bagdad.
Penduduk Damsyik ketika itu adalah campuran dari penganut-penganut Madzhab Hanbali, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki.
Bapaknya, Syihabuddin, lantas menggabungkan diri dengan sebuah penganut madrasah agama dari Madzhab Hanbali yang ada di kota Damsyik. Dan anaknya Taqiyuddin, yakni Ibnu Taimiyah, dimasukkannya pula dalam sekolah itu. Di situlah Ibnu Taimiyah mendapat seluruh ilmunya, yaitu dari perguruan Madzhab Hanbali.
Ibnu Taimiyah kemudian menjadi ulama besar dalam Madzhab Hanbali, bukan saja dalam ilmu fiqih, tetapi juga dalam usuluddin, dalam ilmu tauhid.
Sayangnya, ia kemudian terpengaruh dengan faham kaum “musyabbihah dan mujassimah”, yaitu sekelompok kaum yang menyatakan bahwa Tuhan itu menyerupai manusia, pakai tangan, pakai kaki dan pakai muka.
Di dalam fiqih pun, walaupun ia penganut Madzhab Hanbali, tetapi banyak pula fatwa-fatwanya yang berlainan dari Madzhab Hanbali yang murni.
Jadi, Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama penganut Madzhab Hanbali yang kadang-kadang menyeleweng dari Madzhabnya.
Ia kadang-kadang berfatwa bersendiri, bebas dari garis Madzhab Hanbali, tetapi usul fikihnya tetap menurut Madzhab Hanbali, karena ia tidak mempunyai usul fikih sendiri (Baca buku “Ibnu Taimiyah” karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, halaman 168-169-170_.
Sumber-sumber dalam Madzhab Hanbali adalah :
  1. Kitabullah.
  2. Sunnah Rasul.
  3. Fatwa sahabat-sahabat.
  4. hadits Mursal atau Hadits Dha’if.
  5. Qiyas.
Kalau diteliti kitab “Fatawi Ibnu Taimiyah” (Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah) nyatalah bahwa beliau memang benar-benar memegang garis usul Hanbali ini dalam fatwa-fatwa fikih.
Dan ia tidak pernah mengatakan bahwa sudah menjadi Mujtahid Muthlaq, lepas dari Madzhab Hanbali.
Di atas kami katakan bahwa ia banyak menyeleweng dari Madzhab Hanbali yang murni.
Ibnu Bathuthah, seorang pengembara abad ke VII H. Dari Tanjah Tunisia; menerangkan dalam bukunya terkenal “Rahlah Ibnu Bathuthah” (Pengembaraan Ibnu Bathuthah) pada jilid I, halaman 57 begini:

“Adalah di kota Damsyik seorang ahli fikih yang besar dalam Madzhab Hanbali, namanya Taqiyuddin Ibnu Taimiyah. Ia banyak membicarakan soal-soal ilmu pengetahuan, tetapi sayang “fi ‘aqlihi syai-un” (otaknya sedikit goncang).
Penduduk kota Damsyik menghormati orang itu. Pada suatu kali ia mengajar, berdiri di atas mimbar mesjid Damsyik yang besar itu. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa yang berlainan dari ahli fikih yang lain, sehingga ia akhirnya diadukan orang kepada Raja Nashir yang berkedudukan di Kairo. (Damsyik ketika itu di bawah kekuasaan Kairo). Ia dibawa ke Kairo dan kepadanya dihadapkan beberapa tuduhan dalam suatu pengadilan. Jaksa penuntut ketika itu namanya Syarafuddin Zawawi, seorang ahli hukum dalam Madzhab Hanbali juga.
Ibnu Taimiyah tidak menjawab sekalian tuduhan yang dimajukan kepadanya, tetapi jawabnya hanya ucapan “La Ilaha illallah” saja. Akhirnya ia dimasukkan dalam penjara, ditahan beberapa tahun. Setelah ditahan beberapa lama di penjara Kairo, ibunya memanjatkan permohonan kepada Raja Nashir, agar anaknya itu dibebaskan.
Raja Nashir memperkenankan permohonan ibu ini dan Ibnu Taimiyah menjadi bebas, dan pulang ke Damsyik.
Tetapi – kata Ibnu Bathuthah – terjadi lagi hal yang serupa itu. Saya ketika itu sedang berada di Damsyik, kata Bathuthah.
Pada hari Jum’at Ibnu Taimiyah berpidato di atas mimbar mesjid Damsyik. Di antara ucapannya dikatakan, bahwa Tuhan Allah turun ke langit dunia tiap-tiap malam, seperti turunnya saya ini, lalu ia turun dari mimbar.
Ketika itu hadir seorang ulama Madzhab lain, namanya Ibnu Zahra’. Ahli fikih ini mendebat Ibnu Taimiyah, karena ia menyerupakan Tuhan dengan dirinya, tetapi beberapa orang murid Ibnu Taimiyah memukul Ibnu Zahra’ ini, dan membawanya kepada Qadhi dalam Madzhab Hanbali (Madzhab Ibnu Taimiyah). Qadhi Izzuddin menghukum Ibnu Zahra’ beberapa hari dalam penjara, tetapi ahli-ahli fikih yang lain, yaitu ahli-ahli fikih Madzhab Syafi’i dan Maliki, memprotes hukuman Qadhi Izzuddin ini dan mengajukan perkaranya kepada Raja Besar (Malikul Muluk) bernama Saifuddin Tankiz.
Raja ini orang baik, kata Ibnu Bathuthah. Ia memerintah kepada Raja Nashir di Kairo supaya Ibnu Taimiyah dibawa ke pengadilan tinggi, karena fatwa Ibnu Taimiyah dalam agama banyak yang salah.
Di antara fatwanya yang salah itu, kata Ibnu Bathuthah, ialah bahwa thalaq tiga dijatuhkan sekaligus jatuh satu, berziarah ke Madinah ke makam Rasulullah adalah ma’syiyat (munkar) dan lain-lain.
Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa ibnu Taimiyah melakukan banyak kesalahan dalam Fatwanya, dalam fikih maupun dalam usuluddin, dan ia dihukum penjara dalam benteng Damsyik. Ia ditahan dan mati dalam penjara Damsyik tanggal 27 Syawal tahun 728 H.”

Demikianlah keterangan Ibnu Bathuthah seorang pengembara yang netral.
Dari cerita Ibnu Bathuthah ini dapat diambil kesimpulan :
  1. Ibnu Taimiyah penganut Madzhab Hanbali, tetapi ia banyak menyeleweng dalam fatwanya.
  2. Ia dua klai dimajukan ke muka pengadilan yang akhirnya dihukum penjara.
  3. Ia wafat dalam penjara.
Tersebut dalam buku “Ibnu Taimiyah” karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, keluaran Daruts Tsaqafah Mesir, yaitu buku yang sangat berpihak kepada Ibnu Taimiyah, pada halaman 102, 103, 104 dan 105 begini terjemahan bebasnya :

Bagaimana jugapun, ia dibawa ke mahkamah dan dituduh bahwa ia mempercayai bahwa Tuhan itu duduk benar-benar di atas ‘Arasy, boleh ditunjuk dengan jari ke atas, bahwa Tuhan berkata dengan huruf dan suara”.
Jaksa menuntut supaya Ibnu Taimiyah dihukum mati. Setelah Ketua pengadilan, Qadhi Ibnu Makhluf bertanya kepada Ibnu Taimiyah tentang tuduhan itu, beliau memulai jawabannya dengan alhamdulillah dan salawat seperti berpidato, maka ia dibentak, bahwa tempat itu bukan tempat untuk berpidato tetapi langsung harus jawab, bagaimana ?
Ibnu Taimiyah bertanya : Siapa ketua pengadilan :
Dijawab : Ibnu Makhluf.
Ibnu Taimiyah menjawab : Engkau musuh saya, bagaimana bisa menghukum saya?
Kemudian Ibnu Taimiyah dihukum penjara.
Sesudah itu keluar siaran pemerintah, supaya sekalian rakyat yang termakan pengajaran Ibnu Taimiyah supaya kembali kepada kebenaran, kalau tidak akan diambil tindakan.
Banyaklah ketika itu penganut-penganut Madzhab Hanbali, yang menerima pengajian Ibnu Taimiyah dimasukkan dalam penjara, baik di Syam ataupun di Mesir.
Setelah ia ditahan setahun dan beberapa bulan ia dibebaskan atas permintaan seorang raja Arab, namanya Hisamuddin.
Setelah dibebaskan ia tidak pulang ke Damsyik tetapi tinggal di Mesir. Di Mesir ia berfatwa menghantam Ulama-ulama tasauf.
Kemudian ia ditangkap lagi lalu diberi hukuman pulang ke Damsyik atau tinggal di Iskandariah atau penjara.
Maka ia menerima penjara, karena tidak mau menerima syarat-syarat, tetapi kemudian murid-muridnya mendesak supaya ia pulang ke Damsyik.
Pada tahun 712 ia kembali ke Damsyik sesudah meninggalkannya selama 7 tahun.
Kemudian di Damsyik ia berfatwa lagi yang ganjil-ganjil, di antaranya:
  1. Bersumpah dengan thalak tidak jatuh thalak kalau dilanggar, apabila yang bersumpah membayar kafarat sumpah.
  2. Thalak 3 sekaligus jatuh satu.
  3. Bepergian ziarah ke makam-makam, seperti makam Nabi Ibrahim di Madinatul Khalil dan makam Nabi Muhammad SAW. di Madinah adalah perbuatan munkar.
Kemudian pada tahun 726 H. ia ditangkap lagi atas perintah Sultan dan dikurung dalam penjara benteng Damsyik. Banyak  murid-muridnya ketika itu ditangkap dan dikurung bersama-sama, diantaranya muridnya yang setia Syamsuddin Muhammad bin Al Qayim al Jauziah (Ibnu Qayim al Jauzi, pengarang Zadul Ma’ad, pen).
Maka wafatlah beliau dalam penjara benteng Damsyik 20 Dzil Kaedah tahun 728.

Demikian keringkasan keterangan Doktor Muhammad Yusuf Musa. Keterangan ini hampir sama dengan keterangan Ibnu Bathuthah.
Tersebut dalam kitab “Daf’us Syubah man tasyabbaha wa tamarrad” karangan Mufti dan Syeikhul Islam Taqiyuddin al Husaini ad Dimsyaqi (wafat di Damsyik tahun 829 H) pada pagina 41 bengini artinya :
“Mengabarkan Abu Hasan ‘Ali Ad Dimsyaqi, ia terima dari bapaknya, bahwa bapaknya menghadiri majelis Ibnu Taimiyah di Mesjid Damsyik. Ibnu Taimiyah memberi pelajaran di hadapan umum. Ketika ia sampai kepada pengajian ayat “Tuhan istawa di atas ‘Arasy” maka ia mengatakan, bahwa Tuhan duduk bersela di atas ‘Arasy seperti saya ini.

Pada ketika itu pendengar jadi ribut, karena Ibnu Taimiyah menyerupakan selanya dengan sela Tuhan, sehingga Ibnu Taimiyah dilempari dengan sandal, sepatu dan diturunkan dari kursi duduknya, ditampar dan diperpukulkan bersama-sama”. Demikian al Husaini.
Jadi dapat diyakini, sesuai dengan fakta-fakta sejarah, bahwa Ibnu Taimiyah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang salah, yang bertentangan dengan pendapat Ulama-ulama Islam yang lain, sehingga beliau pada akhirnya masuk penjara dua kali, satu di Mesir dan kedua di Damsyik dan wafat dalam penjara tahun 728 H.

Inilah sejarah singkat dari Ibnu Taimiyah, yang dikatakan orang pemimpin gerakan modernisasi agama Islam dan penganut faham Salaf atau pemimpin gerakan Salaf.

B. Konsepsinya
Konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama dan faham agama adalah di antaranya sebagai berikut :
a. Dalam usuluddin
  • Tuhan bersela di atas ‘Arasy, serupa selanya Ibnu Taimiyah.
  • Tuhan sama besarnya dengan ‘Arasy.
  • Tuhan turun setiap akhir malam ke langit dunia serupa turunnya Ibnu Taimiyah dari mimbar.
  • Tuhan bersabda di jihat atas, boleh ditunjuk dengan telunjuk ke atas.
  • Tuhan bertubuh, berjihat dan pindah-pindah tempat.
  • Tuhan bicara dengan huruf dan suara.
  • Sifat Tuhan hadits (baru) dan yang hadits itu melekat pada Zat Tuhan yang qadim.
  • Qur’an itu baru (Hadits) bukan qadim.
  • Nabi-nabi tidak mashum.
  • Bepergian ziarah ke makam-makam, seumpama makam Nabi di Madinah, makam Ibrahim di mesjid Rhanl, makam wali dan ulama adalah pekerjaan mashiyat (munkar).
  • Mendo’a dengan bertawassul syirik.
  • Istiqatsah dengan Nabi Syirik.
  • Neraka akan lenyap bukan kekal.
  • Mengingkari ijma’ tidak kafir.
b. Dalam fiqih.
  • Thalaq tiga sekaligus jatuh satu.
  • Thalaq ketika isteri berkain kotor tidak jatuh.
  • Sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak diqadha.
  • Orang junub boleh sembahyang sunat malam tanpa mandi lebih dahulu.
  • Bersumpah dengan thalaq, tidak jatuh ketika sumpah itu dilanggar, tapi wajib dibayar kafarat sumpah saja.
  • Orang yang tidak sembahyang tidak boleh diberi zakat.
  • Boleh qashar sembahyang dalam perjalanan, walaupun perjalanan itu pendek.
  • Boleh tayamum walaupun ada air untuk sembahyang, kalau dikhawatirkan akan habis waktu kalau berwudhu’.
  • Syarat si Wakil tak diperdulikan.
  • Thalaq di waktu suci yang disetubuhi tidak jatuh.
  • Wanita yang tidak bisa mandi di rumah dan sulit pergi mandi ke kolam di luar rumah boleh tayamum saja.
  • Air yang sedikit (kurang dua kulah) tidak akan menjadi najis oleh kemasukan najis, kecuali kalau ada perobahannya.
c. Dalam tasauf
  • Tasauf dan amal orang tasauf seumpama tharikat-tharikat harus dibuang jauh-jauh.
  • Ulama-ulama tasauf dikecam habis-habisan.
Demikian konsepsi Ibnu Taimiyah dalam memodernisasi agama, yang kami kutip dari bermacam-macam buku diantaranya buku karangan Doktor Yusuf Musa, yang berjudul “Ibnu Taimiyah”.
Sumber: 40 Masalah Agama, K.H. Siradjuddin Abbas, Jilid 2, hal 217 s/d 224

Dibawah ini tentang Ibnu Taimiyah, bersumber dari
 http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/06/01/para-ulama-ahlussunnah-memerangi-ibn-taimiyah-mengenal-tiang-utama-ajaran-sesat-wahabi/

Ibn Taimiyah (w 728 H) adalah sosok kontroversial yang segala kesesatannya telah dibantah oleh berbagai lapisan ulama dari empat madzhab; ulama madzhab Syafi’i, ulama madzhab Hanafi, ulama madzhab Maliki, dan oleh para ulama madzhab Hanbali. Bantahan-bantahan tersebut datang dari mereka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri maupun dari mereka yang datang setelahnya. Berikut ini adalah di antara para ulama tersebut dengan beberapa karyanya masing-masing :

1. Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama’ah asy-Syafi’i (w 733 H).
2. Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
3. Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.
4. Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali. Ibn Taimiyah di masa hidupnya dipenjarakan karena kesesatannya hingga meninggal di dalam penjara dengan rekomedasi fatwa dari para hakim ulama empat madzhab ini, yaitu pada tahun 726 H. Lihat peristiwa ini dalam kitab ‘Uyûn at-Tawârikh karya Imam al-Kutubi, dan dalam kitab Najm al-Muhtadî Fî Rajm al-Mu’tadî karya Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi.
5. Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi’ ar-Rifa’i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).
6. Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i. salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
• Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh
7. Ahli Fiqih dan ahli teologi serta ahli tasawwuf terkemuka di masanya; Syekh Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H).
8. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir; Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H).
• I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm.
9. Pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya; Syekh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Di antara pernyataannya sebagai berikut: “Ibn Taimiyah adalah orang yang berkeyakinan tajsîm, dan dalam keyakinan kita barangsiapa berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir yang wajib dibunuh”.
10. Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya’qub al-Bakri (w 724 H). Ketika suatu waktu Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, Syekh Ali ibn Ya’qub ini adalah salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.
11. Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi’i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
12. Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H).
• al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr.
• ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
• Syifâ’ as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm
• an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu’allaq.
• Naqd al-Ijtimâ’ Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq.
• at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta’lîq.
• Raf’u asy-Syiqâq Fî Mas’alah ath-Thalâq.
13. Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi’i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.
14. Imam al-Hâfizh Abu Sa’id Shalahuddin al-‘Ala-i (w 761 H). Imam terkemuka ini mencela dan telah memerangi Ibn Taimiyah. Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-‘Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
• Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.
15. Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H).
16. Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
• Risâlah Fî Nafyi al-Jihah.
17. Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah, hingga beliau menuliskan dua risalah untuk itu. Pertama dalam masalah talaq, dan kedua dalam masalah ziarah ke makam Rasulullah.
18. Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
19. Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi’i (w 714 H). Telah memerangi Ibn Taimiyah dalam empat belas keyakinan sesatnya, dan telah mengalahkan serta menundukannya.
20. Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H).
• Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî
21. Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H).
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah
22. Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H).
• Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah
23. Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi’i (w 739 H).
24. As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah menuliskan surat resmi prihal kesesatan Ibn Taimiyah.
25. Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri.
• Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
• an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
26. Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H).
• Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth
27. Syekh Afifuddin Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
28. Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan).
29. Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H).
• Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ
30. Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H).
• ‘Uyûn at-Tawârikh.
31. Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H).
• at-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah
32. Al-Qâdlî Muhammad as-Sa’di al-Mishri al-Akhna’i (w 750 H).
• al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah, dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi’ah karya Syekh Salamah al-Azami.
33. Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H).
• Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.
34. Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H).
• al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah.
35. Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H).
• Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.
36. Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H).
• ad-Durar al-Kâminah Fî A’yân al-Mi-ah ats-Tsâminah.
• Lisân al-Mizân.
• Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri.
• al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.
37. Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H).
• al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.
38. Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi’i (w 851 H).
• Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.
39. Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H).
• Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.
40. Salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya; Syekh Abu Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H).
41. Al-‘Allâmah Ala’uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H). Beliau mengatakn bahwa Ibn Taimiyah adalah seorang yang kafir. Beliau juga mengkafirkan orang yang menyebut Ibn Taimiyah dengan Syekh al-Islâm jika orang tersebut telah mengetahui kekufuran-kekufuran Ibn Taimiyah. Pernyataan al-’Allâmah Ala’uddin al-Bukhari ini dikutip oleh Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau’ al-Lâmi’.
42. Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H).
• ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqâdât.
43. Syekh Ahamd Zauruq al-Fasi al-Maliki (w 899 H).
• Syarh Hizb al-Bahr.
44. Imam al-Hâfizh as-Sakhawi (902 H)
• al-I’lân Bi at-Taubikh Liman Dzamma at-Târîkh.
45. Syekh Ahmad ibn Muhammad yang dikenal dengan Ibn Abd as-Salam al-Mishri (w 931 H)
• al-Qaul an-Nâshir Fî Radd Khabbath ‘Ali Ibn Nâshir.
46. Al-‘Allâmah Syekh Ahmad ibn Muhammad al-Khawarizmi ad-Damasyqi yang dikenal dengan Ibn Qira (w 968 H).
47. Imam al-Qâdlî al-Bayyadli al-Hanafi (1098 H)
• Isyârât al-Marâm Min ‘Ibârât Imam.
48. Syekh al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Witri (w 980 H)
• Raudlah an-Nâzhirîn Wa Khulâshah Manâqib ash-Shâlihîn.
49. Al-Faqîh al-’Allâmah Syekh Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H).
• al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah.
• al-jawhar al-Munazh-zham Fî Ziyârah al-Qabr al-Mu’azham.
• Hâsyihah al-Idlâh Fî Manâsik al-Hajj Wa al-‘Umrah.
50. Syekh Jalaluddin ad-Dawani (w 928 H).
• Syarh al-‘Aqâ-id al-Adludiyyah.
51. Syekh Abd an-Nafi ibn Muhammad ibn Ali ibn Iraq ad-Damasyqi (w 962 H). Lihat kitab Dakhâ-ir al-Qashr Fî Tarâjum Nubalâ’ al-Ashr karya Ibn Thulun pada halaman 32-33.
52. Syekhal-Qâdlî Abu Abdillah al-Maqarri.
• Nazhm al-La-âlî Fî Sulûk al-Âmâlî.
53. Syekh Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (w 1014 H)
• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rif Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
54. Imam Syekh Abd ar-Ra’uf al-Munawi asy-Syafi’i (w 1031 H).
• Syarh asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah Li at-Tirmidzi.
55. Syekh al-Muhaddits Muhammad ibn Ali ibn Allan ash-Shiddiqi al-Makki (w 1057 H).
• aL-Mubrid al-Mubki Fî Radd ash-Shârim al-Manki.
56. Syekh Ahmad al-Khafaji al-Mishri al-Hanafi (w 1069 H).
• Syarh asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ Li al-Qâdlî ‘Iyâdl.
57. Al-Mu-arrikh Syekh Ahmad Abu al-Abbas al-Maqarri (w 1041 H).
• Azhar ar-Riyâdl.
58. Syekh Muhammad az-Zarqani al-Maliki (w 1122 H)
• Syarh al-Mawâhib al-Ladunniyyah.
59. Syekh Abd al-Ghani an-Nabulsi ad-Damasyqi (1143 H). Beliau banyak menyerang Ibn Taimiyah dalam berbagai karyanya.
60. Al-Faqîh ash-Shûfi Syekh Muhammad Mahdi ibn Ali ash-Shayyadi yang dikenal dengan nama ar-Rawwas (w 1287 H).
61. Syekh Idris ibn Ahmad al-Wizani al-Fasi al-Maliki.
• an-Nasyr ath-Thayyib ‘Alâ Syarh Syekh ath-Thayyib.
62. Syekh as-Sayyid Muhammad Abu al-Huda ash-Shayyadi (w 1328 H).
• Qilâdah al-Jawâhir.
63. Syekh Musthafa ibn Syekh Ahmad ibn Hasan asy-Syathi ad-Damasyqi al-Hanbali, hakim Islam wilayah Duma, hidup sekitar tahun 1331 H.
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
64. Syekh Musthafa ibn Ahmad asy-Syathi al-Hanbali ad-Damasyqi (w 1348 H).
• an-Nuqûl asy-Syar’iyyah.
65. Syekh Mahmud Khaththab as-Subki (w 1352 H).
• ad-Dîn al-Khâlish Aw Irsyâd al-Khlaq Ilâ Dîn al-Haq.
66. Mufti kota Madinah Syekh al-Muhaddits Muhammad al-Khadlir asy-Syinqithi (w 1353 H).
• Luzûm ath-Thalâq ats-Tsalâts Daf’ah Bimâ La Yastahî’ al-Âlim Daf’ah.
67. Syekh Abd al-Qadir ibn Muhammad Salim al-Kailani al-Iskandarani (w 1362 H).
• an-Naf-hah az-Zakiyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
• al-Hujjah al-Mardliyyah Fî Itsbât al-Wâsithah al-Latî Nafathâ al-Wahhâbiyyah.
68. Syekh Ahmad Hamdi ash-Shabuni al-Halabi (w 1374 H).
• Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah.
69. Syekh Salamah al-Azami asy-Syafi’i (w 1376 H)
• al-Barâhîn as-Sâth’iah Fî Radd Ba’dl al-Bida’ asy-Syâ-i’ah.
• Berbagai makalah dalam surat kabar al-Muslim Mesir.
70. Mufti negara Mesir Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (w 1354 H).
• Tath-hîr al-Fu’âd Min Danas al-‘I’tiqâd.
71. Wakil para Masyâyikh Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki Syekh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kautsari (1371 H).
• Kitâb al-Maqâlât al-Kautsari.
• at-Ta’aqqub al-Hatsîts Limâ Yanfîhi Ibn Taimiyah Min al-Hadîts.
• al-Buhûts al-Wafiyyah Fî Mufradât Ibn Taimiyah.
• al-Isyfâq ‘Alâ Ahkâm ath-Thalâq.
72. Syekh Ibrahim ibn Utsman as-Samnudi al-Mishri, salah seorang ulama yang hidup di masa sekarang.
• Nushrah Imam as-Subki Bi Radd ash-Shârim al-Manki.
73. Ulama terkemuka di kota Mekah Syekh Muhammad al-Arabi at-Tabban (w 1390 H).
• Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn.
74. Syekh Muhammad Yusuf al-Banuri al-Bakistani.
• Ma’ârif as-Sunan Syarh Sunan at-Tirmidzi.
75. Syekh Manshur Muhammad Uwais, salah seorang ulama yang masih hidup di masa sekarang.
• Ibn Taimiyah Laysa Salafiyyan.
76. Al-Hâfizh Syekh Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi (w 1380 H).
• Hidâyah ash-Shughrâ’.
• al-Qaul al-Jaliyy.
77. Syekh al-Musnid al-Habîb Abu al-Asybal Salim ibn Husain ibn Jindan, salah seorang ulama terkemuka di Indonesia (w 1389 H)
• al-Khulâshah al-Kâfiyah Fî al-Asânid al-‘Âliyah.
78. Syekh al-Muhaddits Abdullah al-Ghumari al-Maghribi (w 1413 H).
• Itqân ash-Shun’ah Fî Tahqîq Ma’nâ al-Bid’ah.
• ash-Shubh as-Sâfir Fî Tahqîq Shalât al-Musâfir.
• ar-Rasâ’il al-Ghumâriyyah.
• Dan berbagai tulisan beliau lainnya.
79. Syekh Hamdullah al-Barajuri, salah seorang ulama terkemuka di Saharnafur India.
• al-Bashâ-ir Li Munkirî at-Tawassul Bi Ahl al-Qubûr.
80. Syekh Abu Saif al-Hamami secara terang telah mengkafirkan Ibn Taimiyah dalam karyanya berjudul Ghauts al-‘Ibâd Bi Bayân ar-Rasyâd. Beliau adalah salah seorang ulama besar dan terkemuka di wilayah Mesir. Kitab karyanya ini telah direkomendasikan oleh para masyayikh Azhar dan ulama besar lainnya, yaitu oleh Syekh Muhammad Sa’id al-Arfi, Syekh Yusuf ad-Dajwi, Syekh Mahmud Abu Daqiqah, Syekh Muhammad al-Bujairi, Syekh Muhammad Abd al-Fattah Itani, Syekh Habibullah al-Jakni asy-Syinqithi, Syekh Dasuqi Abdullah al-Arabi, dan Syekh Muhammad Hafni Bilal.
81. Syekh Muhammad ibn Isa ibn Badran as-Sa’di al-Mishri.
82. As-Sayyid Syekh al-Faqîh Alawi ibn Thahir al-Haddad al-Hadlrami.
83. Syekh Mukhtar ibn Ahmad al-Mu’ayyad al-Azhami (w 1340 H).
• Jalâ’ al-Awhâm ‘An Madzhab al-A-immah al-‘Izhâm Wa at-Tawassul Bi Jâh Khayr al-Anâm -‘Alaih ash-Shalât Wa as-Salâm-. Kitab ini berisi bantahan atas kitab karya Ibn Taimiyah berjudul Raf’u al-Malâm.
84. Syekh Isma’il al-Azhari.
• Mir’âh an-Najdiyyah.
85. KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
• Sirâj ath-Thâlibîn ‘Alâ Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannah Rabb al-‘Âlamîn.
86. KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh kaum Wahhabiyyah.
• ‘Aqîdah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
87. KH. Sirajuddin Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
• I’tiqad Ahl as-sunnah Wa al-Jama’ah.
• Empat Puluh Masalah Agama
88. KH. Ali Ma’shum Yogyakarta (w 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia.
• Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah.
89. KH. Ahmad Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia.
• Aqâ-id Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ’ah. Ditulis tahun 1311 H
90. KH. Bafadlal ibn Syekh Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga.
• Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
• Syarh Risâlah al-Kawâkib al-Lammâ’ah Fî Tahqîq al-Musammâ Bi Ahl as-Sunnah.
• Al-‘Iqd al-Farîd Bi Syarh Jawharah at-Tauhîd
91. Tuan Guru Zainuddin ibn Abd al-Majîd Pancor Lombok Nusa Tenggara Barat.
• Hizb Nahdlah al-Wathan
92. KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000).
• Taudlîh al-Adillah.
93. KH. Ahmad Makki Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat.
• Hishn as-Sunnah Wa al-Jama’âh

Wallohu A'lam