[6] [WAHABI] [slider-top-big] [WAHABI]

Muhammad bin Abdul Wahab

| No comment
Dalam buku “Kasfus Syubahat” karangan ulama-ulama Wahabi, cetakan “An Nur” Nejdi, dapat diambil sejarah paham Wahabi ini ialah :
Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari qabilah Banu Tamim, lahir 1115 H., wafat tahun 1206 H.
Kalau sekarang ini tahun 1431H / 2010M,  maka Muhammad bin Abdul Wahab wafat sudah 225 tahun yang lalu.
Mula-mula ia belajar agama di Makkah dan di Madinah. Di antara gurunya di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman al Kurdi,  Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.

Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam, buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk menolak paham Wahabi),  karangan kakaknya. Sulaiman bin Abdul Wahab.
Menurut Ustadz Hasan Khazbyk dalam suatu karangannya dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pada ketika mudanya banyak membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain pemuka.
Perantara tahun wafat Ibnu Taimiyah (728H)  dan Muhammad bin Abdul Wahab (1206H) adalah 478 tahun.  Ibnu Taimiyah meninggal di Syria sedang Muhammad bin Abdul Wahab meninggal di Nejdi.
Menurut buku  “Kasfus Syubahat” tersebut, yang berasal dari tulisan cucu-cucu dari keluarga Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu Abdul Lathif bin Ibrahim Ali Syeikh, bahwa,
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di suatu desa bernama “Ainiyah” pada tahun 1115 H. Ia belajar agama kepada bapaknya, karena bapaknya, adalah ulama /Qadhi di negeri ‘Ainiyah itu.
Setelah ia mencapai usia dewasa ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali ke ‘Ainiyah sesudah mengerjakan haji.

Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab datang lagi ke Makkah dan Madinah yang kedua kali. Lama ia tinggal menuntut ilmu di Makkah dan Madinah.
Katanya, pada kali yang kedua inilah ia banyak melihat di Madinah amal-amal/ibadat-ibadat orang Islam di hadapan makam Nabi yang berlainan dari Syari’at Islam, menurut kacamatanya.
Kemudian ia pindah ke Basrah dan menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil tetapi ia segera diusir oleh pengusaha dan dikeluarkan dari kota Basrah.
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke Hassa dan berguru lagi di situ dengan Syeikh Abdullah bin Abdul Lathif, seorang ulama di Hassa. Ketika itu.  Kemudian ia pindah ke Huraimalah, suatu desa kecil di negeri Nejdi.

Mula-mula ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil di negerinya sendiri, yaitu di ‘Ain yah. Tetapi Raja di negeri itu namanya Utsman bin Ahmad bin Ma’mar yang mulanya menolong tetapi setelah mendengar fatwa-fatwanya lalu mengusir dan bahkan berusaha membunuhnya.
Kemudian ia pindah ke Dur’iyah. Raja Dur’iyah bernama Muhammad bin Sa’ud menolong Muhammad bin Abdul Wahab dalam penyiaran paham-pahamnya. Maka bersatulah dua orang “Muhammad”, yang berlain kepentingan, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideology yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.
Maka bersatulah antara paham agama dengan raja, sebagai bersatunya paham Syi’ah di Iran dengan Syah Iran dan bersatunya paham Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman (sebelum Republik).

Demikian tersebut dalam buku “Kasfus Syubahat” cetakan percetakan “An Nur” Riyadh.
Jelas dari uraian ini bahwa paham Muhammad bin Abdul Wahab tidak diterima di Basrah juga tidak diterima di “Ainiyah, sehingga ia diusir dari kedua tempat itu oleh penguasa.
Tetapi dengan pertolongan Muhammad bin Sa’ud di kota Dur’iyah banyak jugalah pengikut-pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang terdiri dari orang-orang padang pasir, sehingga menjadi kekuasaan yang tidak dapat diabaikan oleh Turki dan Syarif-Syarif di Makkah ketika itu.
Pada suatu ketika mereka mengirim delegasinya ke Makkah menemui Syarif Makkah, yaitu Syazif Mas’ud sambil mengerjakan haji. Delegasi ini menyiarkan fatwa-fatwa Wahabiyah yang ganjil-ganjil, di Makkah.
Syarif Mas’ud menangkapi orang-orang ini dan bahkan membunuh sebahagiannya, tetapi sebagiannya lolos dan pulang memberikan laporan kepada Muhammad bin Sa’ud.
Dari mulai tanggal ini berkobarlah permusuhan antara kaum Wahabi di Nejdi dengan Syarif-syarif (penguasa-penguasa di Makkah).

Dalam hal ini Syarif Mas’ud membuat suatu kesalahan karena ia menangkap orang haji dan membunuh mereka, padahal Tuhan telah berfirman dalam Al Qur’an, bahwa “Barangsiapa masuk Makkah adalah aman” (Surat Ali Imran:97). Seharusnya kalau ia tidak sesuai dengan paham Wahabi ia boleh mengusir saja orang tanpa membunuh.
Tetapi dalam sejarah ini dapat diambil pula, bahwa Raja Makkah ketika itu tidak menyukai paham Wahabi, serupa dengan Raja-raja di Basrah dan di ‘Ainiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab biasa memfatwakan bahwa orang-orang di Makkah itu banyak yang kafir, karena mereka membolehkan mendo’a dengan tawassul di hadapan makam nabi, membolehkan berkunjung dari jauh menziarahi makam Nabi, mendo’a menghadap ke makam Nabi, memuji-muji Nabi dengan membaca nazhasn Burdah “Amin Tadza”, membaca shalawat Dalailul Khairat yang berlebih-lebihan memuji Nabi, membaca kisah-kisah Maulud Barzanji dan akhirnya mereka dikafirkan karena tidak mau mengikut Muhammad bin Abdul Wahab.

Terebut dalam sejarah, bahwa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir-mengkafirkan ini.
Sulaiman bertanya kepada adiknya: “Berapa, rukun Islam”
Muhammad menjawab:  “lima”.
Sulaiman:  Tetapi kamu menjadikan 6!
Muhammad:  Apa, ?
Sulaiman:  Kamu memfatwakan bahwa siapa, yang mengikutimu adalah
mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad    : Terdiam dan marah.
Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi Sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang buku “As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi ‘alal Wahabiyah” yang tersebut di atas tadi.

Dari buku ini kita dapat melihat fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab yang ganjil-ganjil dan baru-baru.
Tertulis juga dalam buku ini sejarah perdebatan seorang laki-laki dengan Muhammad bin Abdul Wahab.
Seorang laki-laki bertanya : “Berapa orang yang dibebaskan Tuhan dalam bulan Ramadhan?”
Muhammad bin Abdul Wahab  : “Seratus ribu”.
Laki-laki itu bertanya lagi : “Pada akhir malam bulan Ramadhan berapa?”
Muhammad bin Abdul Wahab menjawab : “Pada akhir bulan Ramadhan dibebaskan Tuban sebanyak yang telah dibebaskannya tiap-tiap malam Ramadhan”. (Jawaban ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi).
Laki-laki ini bertanya lagi : “Dari mana diambil orang Islam sebanyak itu padahal murid kamu tidak sampai sebanyak itu?” Muhammad bin Abdul Wahab marah dan berusaha menangkap orang itu.
Dari riwayat ini dapat dipetik suatu hal, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pada permulaan fatwa-fatwanya banyak sekali mengkafirkan orang-orang yang tidak mau menerima fatwanya.
Muhammad bin Abdul Wahab sejak membuka fatwanya di Dur’iyah tidak mau ke Makkah dan Madinah lagi, karena ia tidak sudi melihat orang-orang membuat “ma’shiat” di Makkah dan di Madinah, katanya.
Yang dikatakannya, “makshiat” itu ialah berbondong-bondong pergi ziarah ke makam Nabi, mendo’a dengan bertawassul dengan “jah” Nabi, mendo’a dengan menghadap ke makam Nabi (bukan ke Qiblat), adanya kubbah-kubbah di atas pekuburan mu’ala di Mekkah, di Baqi’i di Madinah, di pekuburan Uhud di Madinah juga dan ditempat maulud Nabi di Suq al leil di Mekkah ini semua menurut Muhammad bin Abdul Wahab; amalan syirik atau sekurangnya membawa kepada syirik.

Kaum Wahabi sudah dua kali menguasai Hijaz.
Yang pertama pada tahun 1803 M. sampai dengan 1813 M.
Yang kedua setelah keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani yang diupayakan oleh  Mustafa Kemal Attaturk (Yahudi dari Dumamah) dan “pengaruh”  Terrence E. Lawrence (Yahudi dari Inggris) yang harum namanya di Saudi dan disebut sebagai Lawrence of Arabia, atau dengan kata lain kaum Wahabi menguasai Hijaz untuk kedua kalinya mulai tahun 1925 M. sampai sekarang.
Sumber:  I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, KH Siradjuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah Baru
Pustaka yang perlu dicek ulang:
Muhammad bin Abdul Wahhab01
Muhammad bin Abdul Wahab02

===============================================

Di bawah ini tulisan tentang Muhammad Ibn Abdil Wahab bersumber dari:
http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/26/sejarah-ringkas-muhammad-ibn-abdil-wahhab-dan-gerakan-wahhabiyyah-supaya-anda-kenal-bahwa-kaum-wahhabi-bukan-ahlussunnah/

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para Nabi dan orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja, mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah dengan nama Allah, namun ia menyalahinya.

Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz (semacam jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah, mengharamkan bacaan keras dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk mewaspadainya dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali Allah si fulan memberikan manfaat apa bila bertawassul dengannya”. Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil yang sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-orang awam, hingga banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-orang Islam dari para ahli tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66).

Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan. Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah engkau berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat lainnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para wali Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta syafa’at kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-orang musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang musyrik saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).

Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).

Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap orang-orag Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).

Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang saleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu ketika setelah mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu, namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77).

Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika pengumandang adzan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah adzan, sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.
Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan segala apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai bid’ah yang diserukan olehnya. Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap bukan seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.

Suatu ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.

Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).

Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut. Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya pengikutnya sendiri yang benar-benar dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di Najd sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa segan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.

Prilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:

سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي نَجْدِ وَإنْ كَانَ تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي

“Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.

Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain, mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian terhadapnya yang telah ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkiari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai berikut:

رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي النّجدِي فقَدْ صحَّ لِي عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي
وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ

“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”.

“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.

Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekekat Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.

Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai firasat bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar. Kepada banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari Muhammad ini suatu kejahatan…”. Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.

Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia sangat mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya tersebut dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits, karena Muhammad tidak mau menerima apapun kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang ia selalu mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang dengan pemahaman yang sama sekali tidak dimaksud oleh keduanya. Syekh Sulaiman menamakan karya bantahan kepadanya dengan judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb.

Syekh Sulaiman ini telah diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan dan marabahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal hal tersebut sangat menghkawatirkan siapapun. Karena Muhammad ini, apa bila ia ditentang oleh seseorang dan ia tidak kuasa untuk membunuh orang tersebut dengan tangannya sendiri maka ia akan mengirimkan orangnya untuk membunuh orang itu ditempat tidurnya, atau membunuhnya dengan cara membokongnya di tempat-tempat keramaian di malam hari, seperti di pasar. Ini karena Muhammad memandang bahwa siapapun yang menentangnya maka orang tersebut telah menjadi kafir dan halal darahnya.

Disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki kebiasaan membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di saat Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah” (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).

Dalam tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas bahwa Syekh Abdul Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad, karena tidak mau mempelajari ilmu fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan seorang ahli fiqih dan bukan seorang ahli Hadits. Adapun yang membuat dia sangat terkenal tidak lain adalah karena ajarannya yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara para pengikutnya yang sangat mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan Syekh al-Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh dari api. Para pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui dan menyadari bahwa tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka di abad dua belas hijriyah yang mengungkap biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan menyebutkan bahwa dia adalah seorang ahli fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:

“Penjelasan; Prihal para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai kaum Khawarij di zaman kita ini. Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan ini) tentang kaum Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa mereka adalah kaum yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah, artinya kaum Khawarij tersebut bukan hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij adalah siapapun mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan memberontak kepadanya. Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut bahwa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib, yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah juga orang-orang kafir. Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di zaman kita sekarang, yaitu para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka memakai kedok madzhab Hanbali. Mereka meyakini bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam, sementara siapapun yang menyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu untuk menegakan keyakinan ini mereka mengahalalkan membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di antara ulama Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah menghancurkan kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab tentang kaum pemberontak.).
Salah seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:

“Menurut satu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-Najdiyyah, h. 86).

Sumber
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/02/10/muhammad-bin-abdul-wahab/

Wallohu A'lam