Mengusik amalan
seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar
secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji
dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan
kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah
mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum
Muslimin.
Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas
namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka
keji juga dengki. Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab
Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid
Muhammad Syatha Ad-Dimyatiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari
kitab Fathul Mu’in, Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat
Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut
madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada
sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab),
mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan
Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab
Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namun yang mereka lakukan,
malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka
dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba
luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih
banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti
kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi,
Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan
kitab-kitab ulama lainnya.
* PEMBAHASAN
Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang mereka
comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir
(mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan
Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh
sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil
secara tidak jujur, yang punya kitab i’anah at-tholibin silahkan di
teliti langsung.
1. Teks arabnya ;
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر
“Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah
keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah,
yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah
akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam
dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما
ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله
عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan apa yang dibiasakan manusia
tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para
undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya
para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan
dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah
keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya,
adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang“.
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
“Dalam Kitab Al Bazaz : Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman”.
4. “Dan diantara bid’ah yang munkarat
yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara
penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh,
bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).
5.“Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari
bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan
BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup
serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa
diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang
diharamkan”. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).
Point kelima itulah yang mereka comot
secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya.
Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :
Point Pertama (1) :
Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang
membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit
dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah,
padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Mereka
telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga
makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur.
Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas
pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang mereka
nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”. ~Berikut teks lengkapnya ;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي
مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما).
ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في
العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار
الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن
غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة،
ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من
الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى
التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما،
حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan
mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga)
mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan)
jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai
keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana)
pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”,
(semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia
sepanjang masa), tentang kebiasaan (urf) yang khusus di suatu negeri
bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang
mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka
(pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat
malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri
dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga
mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan
menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila
seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat
dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah)
permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali
berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang
Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan
salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk
keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan
(pelarangan itu) ?”
أفيدوا بالجواب بما هو منقول
ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه
والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من
الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على
منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan,
الحمد لله وحده وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده
Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.
Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia
dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan
makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang
mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya
kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam” Betapa apa
yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat
pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka
gunakan untuk melarang Tahlilan. Ketidak jujuran ini yang mereka
dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan
Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha
Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i. Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang
sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan
pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu
(keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan
menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di
hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan
kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang
menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena
keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hukum
“Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun
luas.
Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan
akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan
tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk
menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi)
bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati
pentakziyah yang datang. Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang
ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas
kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu
mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih
mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga
mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah
orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang
lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga)
mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain
untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit
memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para
tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu
(keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit
mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang
hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia,
sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi
undangan ahlu (keluarga) mayyit.
Sungguh betapa sangat menyakitkan hati
ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan
makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang
lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur
ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau
menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga)
mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan
hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan
yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang
dapat berakibat dosa. Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan
yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga)
mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak
mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama
mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman.
Pada sisi yang di undang pun sama-sama
melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit,
berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit.
Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang
mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hukum “makruh” karena
melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban
merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.
Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang
sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada
dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk
menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi
tahu atau diajari bukan di hukumi.
Selanjutnya, Point Kedua (2)
: Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat
tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hukum namun
diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut
menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya
membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah”
(bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak
dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek),
semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram
mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hukum
“makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan
dihidangkan makanan,terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti
takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu
dihukumi sunnah. ~Terjemahan “mereka” :“Dan apa yang dibiasakan manusia
tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para
undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya
para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan
dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah
keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya,
adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang. ~Berikut teksnya
(yang benar) :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما
ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله
عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hukum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah“.
Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut. Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;
أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5
macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang
haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]
Bila ingin memahami perkataan Ulama
madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan
didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah
ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat
dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk
menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau
mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang
mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.
Status hukum yang disebutkan pada kalimat
diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan
haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsabu ala tarkihi wala
yu’aqabu ala fi’lihi, yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan
tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.
Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)”
yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan
oleh Ibnu Majah ;
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا
نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ
النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) memandang berkumpul
di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari
meratap”“An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun,
bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada
anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja
menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat
Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ;
فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ
عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
“..maka Sa’ad berkata ; Ya ..
Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini)
adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya
merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]
فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ
يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ
يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ
يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf
berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah
berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam
sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air
mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang
menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih
karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]
Rasulullah juga menangis di makam ibunda
beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana
diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa
Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad
al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).
Maka meratap yang sebenarnya dilarang
(diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit
dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi
berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi, menarik-narik
rambut, dan lain sebagainya. Kembali kepada status hukum “Makruh”
diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
“Maka adapun bila ahlu (keluarga)
mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa
menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan)
dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz II/215]
Makruh bukan haram, dan status hukum
Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya
sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215]
Selanjutnya, Point Ketiga (3) : Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari
konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat
sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hukum yang ditetapkan
dalam kitab Al-Bazaz. ~Terjemahan Mereka : “Dalam Kitab Al Bazaz:
Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh
hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.” ~Berikut
teks lengkapnya yang benar :
وقال أيضا: ويكره الضيافة من
الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن
ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل
الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في
اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ
“Dan (juga) berkata; “dan
dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga)
mayyit, karena untuk mengadakan kegembiran (شرع في السرور), dan ini
adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan
isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat)
menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan
menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz,
“dimakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah
satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke
kuburan pada musiman”.
Apa yang dijelaskan didalam kitab
Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih
terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka
menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut
melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk
melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan
tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan. Yang dimakruhkan
adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang
dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan.
Status hukum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah
menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab
Al-Mughniy).
Selanjutnya, Point Ke-Empat (4)
Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan
memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh. Terjemahan ‘mereka’ ; “Dan
diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa
dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan
acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)
Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini
telah memfitnahatas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin).
Berikut teks lengkapnya (yang benar);
وفي حاشية العلامة الجمل على شرح
المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة
والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه
دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.
“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal
‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal)
; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya yaitu
apa yang dilakukan orang daripada berduka cita , berkumpul dan 40
harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang
(haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang
atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain
sebagainya”
Begitu jelas ketidak jujuran yang
mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan
melalui website dan buku-buku mereka. Buku mereka yang memuat terjemahan
tidak jujur diatas adalah buku yang berjudul “Membongkar Kesesatan
Tahlilan”, hal. 31, disana ditulis : “Dan di antara bid’ah munkaroh yang
sangat dibenci adalah apa yang dilakukan orang di hari ketujuh dan di
hari ke-40-nya. semua itu haram hukumnya” (lihat buku Membongkar
Kesesatan Tahlilan, hal. 31). Dan juga dalam buku “Mantan Kiai NU
Menggugat Tahlilan”: “Di antara bid’ah munkarat yang tidak disukai ialah
perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu dalam majelis untuk
menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat
jamuan majelis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu
adalah haram” (lihat buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, hal. 69).
Kalimat yang seharusnya di lanjutkan di potong. Mereka telah
menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal
dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan
yang direncanakan/disengaja, red) demi tercapainya tujuan mereka yaitu
melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka
didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya
mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini
juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya
berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya
menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan
yang mereka lakukan.
Selanjutnya, Point Ke-Lima (5) Terjemahan mereka, “Dan
tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat
ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka
seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu
keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal
yang akan membawa kepada hal yang diharamkan.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146)
Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat
sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan. Berikut
ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4.
وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال
من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا
ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان
عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير
خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا
للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير
“Dan sungguh Rasulullah bersabda
kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang
menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka
baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak
dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan
barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah
dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang
yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”.
dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki
khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya
(pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan
pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka,
celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka
keburukan dan pengunci kebaikan”
ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة
المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق
لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون
ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم
“dan tidak ada keraguan bahwa
mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini,padanya termasuk menghidupkan
as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu
kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan..Maka jika manusia
membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan
mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.”
Jika hanya membaca sepintas nukilan
dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa
berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit
adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak
jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah
yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah
dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa
mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang
banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5
ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang
terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang
atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
Demikian apa yang bisa kami sampaikan untuk meluruskan
nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut
salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang
dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk. Kami menghimbau agar jangan
terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek
sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing
agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih
banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya.
Maka berhati-hatilah.
[] والله سبحانه وتعالى أعلم Abdurrohim
ats-Tsauriy Situs & buku yg memuat nukilan palsu (bohong) diatas :
- Buku “Membongkar Kesesatan Tahlilan”
- Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan”
- Dan lain-lain kemungkinan masih banyak.
Referensi :
- Kitab I’anatuth Thalibin, Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam As-Sayyid Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i
- Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Al-Imam Hujjatul Islam An-Nawawi
- Shahih Al-Bukhari, Imam Bukhari – Situs yang disebutkan diatas
Wallohu A'lam