Tulisan ini kami persembahkan buat mereka yang tiap minggu Dauroh kajian Tafsir Ibnu Katsir, tapi pemahaman mereka justru berbeda dengan kajian-kajian mereka, parah nya penyakit Tasybih yang sudah mendarah daging dalam keras nya hati mereka, membuat mereka sulit menerima fakta kebenaran nya, dan membuat mereka tidak bisa menyadari bahaya besar yang sedang menjerat akidah mereka, hendak nya tulisan ini menjadi semangat baru bagi mereka agar kembali membuka kembali kajian mereka dan semoga tulisan ini menjadi pertimbangan dalam kajian ulangan nanti nya. Kesalahan mereka dalam memahami hakikat Manhaj Salaf telah menjadikan mereka sebagai fitnah agama ini, sebagai bukti mari lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang “Istawa” atau tentang bab Mutasyabihat umum nya, dan bagaimana hakikat Manhaj Salaf versi Ibnu Katsir akan kita pahami di sini. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54 sebagai berikut :
Maksudnya : Kesimpulan dari uraian di atas, siapa yang menetapkan bagi Allah akan sifat-sifat yang datang dalam ayat-ayat yang shorih yakni ayat-ayat yang Muhkam, bukan malah yakin dengan makna tasybih dalam ayat Mutasyabihat, dan yang datang dalam hadits-hadits yang shohih, dengan metode yang layak dengan keagungan Allah, bukan malah dengan metode yang identik dengan makhluk, dan meniadakan pada Allah segala bentuk kekurangan dari pada sifat-sifat makhluk atau keserupaan dengan makhluk, maka ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk yaitu bertauhid dengan tauhid yang benar.
Wallahu a’lam
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: "من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر". وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى.
Barkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :
“Adapun firman Allah taala { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang, dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan) dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11], bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya, maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.[Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54]
Mari kita pahami uraian Ibnu Katsir tentang “Istawa” di atas pelan-pelan :
فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا
“maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang”
Maksudnya : pada ayat-ayat Mutasyabihat seperti ayat tersebut ada banyak pendapat manusia, dan di sini Ibnu Katsir tidak membahas semua nya, hanya membahas bagaimana pendapat kebanyakan ulama Salaf saja seperti imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam, dari sini nantinya kita pahami mana Manhaj Salaf / Madzhab Salaf sebenarnya, agar tidak tertipu dengan tipu daya Salafi Wahabi yang juga mengaku bermanhaj Salaf.
وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله
“dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan) dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah”
Maksudnya : Menurut Ibnu Katsir, Manhaj Salaf adalah memberlakukan ayat-ayat Mutasyabihat sebagaimana datang nya dari Al-Quran, artinya para ulama Salaf ketika membahas atau membicarakan atau menulis ayat tersebut, selalu menggunakan kata yang datang dalam Al-Quran tanpa menggunakan kata lain, baik dengan Tafsirnya atau Ta’wilnya atau bahkan terjemahannya, atau biasa disebut dengan metode Tafwidh makna, dan tanpa menguraikan kaifiyatnya, artinya tanpa membicarakan apakah itu sifat dzat atau sifat fi’il, apakah itu sifat atau ta’alluq-nya atau lain nya, dan tanpa Tasybih artinya menyerupakan atau memberi makna yang terdapat penyerupaan di situ, dan tidak meniadakan nya karena keadaan nya yang tidak diketahui makna nya, artinya bukan berarti ketika tidak diketahui makna nya, otomatis telah mengingkari sifat Allah, karena telah menetapkan sifat Allah dengan kata yang datang dari Al-Quran, sedangkan makna atau terjemahan yang dipahami oleh seseorang, makna tersebut tidak ada pada Allah, artinya sebuah makna yang otomatis dipahami ketika disebutkan sebuah kalimat, maka makna tersebut bukan maksud dari ayat Mutasyabihat, karena makna tersebut tidak boleh ada pada Allah, kerena dengan menyebutkan makna tersebut kepada Allah, otomatis ia telah melakukan penyerupaan Allah dengan makhluk, Ibnu Katsir di atas menyebut dengan sebutan “Musyabbihin” kepada orang yang memahami makna dhohirnya, ini artinya menyebutkan makna dhohir kepada Allah otomatis telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, inilah poin penting yang harus diperhatikan oleh para Salafi Wahabi, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa makna terjemahan dhohiriyah dalam bab Mutasyabihat tidak layak dengan keagungan Allah, dan menjadikan orang nya sebagai orang yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk.inilah metode kebanyakan dari ulama Salaf, dan nampak jelas perbedaan manhaj Salaf dengan manhaj Salafi Wahabi.
فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
“karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11]”
Maksudnya : kenapa makna dhohirnya tidak boleh, karena Allah tidak serupa sedikit pun dengan makhluk-Nya sebagaimana disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 11, dan ketika makna dhohirnya terdapat sedikit keserupaan, maka makna dhohir tersebut tidak boleh pada Allah.
بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: "من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر"
“bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”.
Maksudnya : Bukan saja masalah nya sebatas tidak boleh, bahkan orang tersebut dapat menjadi kafir dengan sebab ini, sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. artinya termasuk dalam orang dihukumi kafir adalah orang yang beriman dengan makna dhohir, karena sudah dijelaskan di atas bahwa dalam makna dhohir sudah terkandung Tasybih, dan tidak termasuk dalam mengingkari sifat Allah adalah orang yang mengingkari makna dhohir, karena alasan tersebut juga. Maka dapat dipastikan bahwa beriman dengan makna dhohir dalam masalah ini adalah akidah yang salah, bukan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah, bahkan bukan Manhaj Salaf, sekalipun tentang hukum kafir orang nya terdapat perbedaan pendapat ulama, karena kemungkinan dimaafkan bagi orang awam, mengingat ini adalah masalah yang sulit, na’uzubillah.
وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه
“Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya”
Maksudnya : Tidak ada Tasybih pada kata-kata yang datang dalam Al-Quran dan hadits tentang sifat Allah, bukan pada makna nya, sementara pada makna nya tergantung bagaimana memaknainya, sekaligus ini alasan kenapa tidak boleh mengimani makna dhohiriyah, karena semua sifat yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan Rasul sebutkan dalam Hadits untuk sifat Allah, tidak ada satupun yang ada Tasybih (penyerupaan), maka makna dhohir tersebut dapat dipastikan bukan sifat Allah, karena pada nya terdapat keserupaan.
فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى.
“maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.
Barkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya :
“Adapun firman Allah taala { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang, dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan) dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11], bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya, maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.[Tafsir Ibnu Katsir -Surat al-A’raf – ayat 54]
Mari kita pahami uraian Ibnu Katsir tentang “Istawa” di atas pelan-pelan :
فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا
“maka bagi manusia pada tempat ini pernyataan yang banyak sekali, di sini tidak mengupas semua nya, di sini hanya menempuh Madzhab Salafus Sholih yaitu imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang”
Maksudnya : pada ayat-ayat Mutasyabihat seperti ayat tersebut ada banyak pendapat manusia, dan di sini Ibnu Katsir tidak membahas semua nya, hanya membahas bagaimana pendapat kebanyakan ulama Salaf saja seperti imam Malik, dan al-Auza’i, dan Al-tsuri, al-laits bin sa’ad dan imam Syafi’i dan imam Ahmad dan Ishaq bin rahawaih dan selain mereka dari ulama-ulama islam, dari sini nantinya kita pahami mana Manhaj Salaf / Madzhab Salaf sebenarnya, agar tidak tertipu dengan tipu daya Salafi Wahabi yang juga mengaku bermanhaj Salaf.
وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله
“dan Madzhab Salaf adalah memperlakukan ayat tersebut sebagaimana datang nya, dengan tanpa takyif (memerincikan kaifiyat nya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk) dan tanpa ta’thil (meniadakan) dan makna dhohir (lughat) yang terbayang dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah”
Maksudnya : Menurut Ibnu Katsir, Manhaj Salaf adalah memberlakukan ayat-ayat Mutasyabihat sebagaimana datang nya dari Al-Quran, artinya para ulama Salaf ketika membahas atau membicarakan atau menulis ayat tersebut, selalu menggunakan kata yang datang dalam Al-Quran tanpa menggunakan kata lain, baik dengan Tafsirnya atau Ta’wilnya atau bahkan terjemahannya, atau biasa disebut dengan metode Tafwidh makna, dan tanpa menguraikan kaifiyatnya, artinya tanpa membicarakan apakah itu sifat dzat atau sifat fi’il, apakah itu sifat atau ta’alluq-nya atau lain nya, dan tanpa Tasybih artinya menyerupakan atau memberi makna yang terdapat penyerupaan di situ, dan tidak meniadakan nya karena keadaan nya yang tidak diketahui makna nya, artinya bukan berarti ketika tidak diketahui makna nya, otomatis telah mengingkari sifat Allah, karena telah menetapkan sifat Allah dengan kata yang datang dari Al-Quran, sedangkan makna atau terjemahan yang dipahami oleh seseorang, makna tersebut tidak ada pada Allah, artinya sebuah makna yang otomatis dipahami ketika disebutkan sebuah kalimat, maka makna tersebut bukan maksud dari ayat Mutasyabihat, karena makna tersebut tidak boleh ada pada Allah, kerena dengan menyebutkan makna tersebut kepada Allah, otomatis ia telah melakukan penyerupaan Allah dengan makhluk, Ibnu Katsir di atas menyebut dengan sebutan “Musyabbihin” kepada orang yang memahami makna dhohirnya, ini artinya menyebutkan makna dhohir kepada Allah otomatis telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, inilah poin penting yang harus diperhatikan oleh para Salafi Wahabi, bahwa para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa makna terjemahan dhohiriyah dalam bab Mutasyabihat tidak layak dengan keagungan Allah, dan menjadikan orang nya sebagai orang yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk.inilah metode kebanyakan dari ulama Salaf, dan nampak jelas perbedaan manhaj Salaf dengan manhaj Salafi Wahabi.
فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
“karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya, dan [tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat. QS Asy-Syura ayat 11]”
Maksudnya : kenapa makna dhohirnya tidak boleh, karena Allah tidak serupa sedikit pun dengan makhluk-Nya sebagaimana disebutkan dalam surat asy-Syura ayat 11, dan ketika makna dhohirnya terdapat sedikit keserupaan, maka makna dhohir tersebut tidak boleh pada Allah.
بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: "من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر"
“bahkan masalahnya adalah sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”.
Maksudnya : Bukan saja masalah nya sebatas tidak boleh, bahkan orang tersebut dapat menjadi kafir dengan sebab ini, sebagaimana berkata para ulama diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata : “Barang siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh ia telah kafir, dan barang siapa yang mengingkari sifat yang Allah sifatkan (sebutkan) kepada diri-Nya, maka sungguh ia telah kafir”. artinya termasuk dalam orang dihukumi kafir adalah orang yang beriman dengan makna dhohir, karena sudah dijelaskan di atas bahwa dalam makna dhohir sudah terkandung Tasybih, dan tidak termasuk dalam mengingkari sifat Allah adalah orang yang mengingkari makna dhohir, karena alasan tersebut juga. Maka dapat dipastikan bahwa beriman dengan makna dhohir dalam masalah ini adalah akidah yang salah, bukan akidah Ahlus Sunnah Waljama’ah, bahkan bukan Manhaj Salaf, sekalipun tentang hukum kafir orang nya terdapat perbedaan pendapat ulama, karena kemungkinan dimaafkan bagi orang awam, mengingat ini adalah masalah yang sulit, na’uzubillah.
وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه
“Dan tidak ada penyerupaan (Tasybih) pada sifat yang disifatkan/disebutkan oleh Allah dan Rasul kepada diri-Nya”
Maksudnya : Tidak ada Tasybih pada kata-kata yang datang dalam Al-Quran dan hadits tentang sifat Allah, bukan pada makna nya, sementara pada makna nya tergantung bagaimana memaknainya, sekaligus ini alasan kenapa tidak boleh mengimani makna dhohiriyah, karena semua sifat yang Allah sebutkan dalam Al-Quran dan Rasul sebutkan dalam Hadits untuk sifat Allah, tidak ada satupun yang ada Tasybih (penyerupaan), maka makna dhohir tersebut dapat dipastikan bukan sifat Allah, karena pada nya terdapat keserupaan.
فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى.
“maka barang siapa yang menetapkan bagi Allah taala akan sesuatu yang telah datang ayat yang shorih (ayat Muhkam) dan Hadits yang shohih, dengan cara yang layak dengan keagungan Allah taala, dan meniadakan segala kekurangan dari Allah taala, maka sungguh ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk”.
Maksudnya : Kesimpulan dari uraian di atas, siapa yang menetapkan bagi Allah akan sifat-sifat yang datang dalam ayat-ayat yang shorih yakni ayat-ayat yang Muhkam, bukan malah yakin dengan makna tasybih dalam ayat Mutasyabihat, dan yang datang dalam hadits-hadits yang shohih, dengan metode yang layak dengan keagungan Allah, bukan malah dengan metode yang identik dengan makhluk, dan meniadakan pada Allah segala bentuk kekurangan dari pada sifat-sifat makhluk atau keserupaan dengan makhluk, maka ia telah menempuh jalan yang terpetunjuk yaitu bertauhid dengan tauhid yang benar.
Wallahu a’lam
\o/ \o/ \o/ \o/ \o/ \o/ \o/
BalasHapusjika maksud dari makna zahir itu merujuk kepada bayangan imajinasi kita atau pikiran kita tentu salah tapi jika dirujuk pada yang Allah maksud tentu ini yang benar sedangkan tentang takwil hanya sebatas sudut pandang kita sebagai makhluk dan yg hakiki kita serahkan padaNya
BalasHapusLihat juga tafsir Ibnu Katsir surah Thaha ayat 5. Beliau berkata :Dan pemahaman yang lebih aman dalam mengartikan makna lafaz ini (yang menurut makna asalnya ialah bersemayam) adalah menurut pemahaman ulama Salaf, yaitu memberlakukan makna hal yang seperti ini dari KitabulIah maupun sunnah Rasul Saw. dengan pengertian yang tidak dibarengi dengan penggambaran, tidak diselewengkan, tidak diserupakan, tidak dikurangi, tidak pula dimisalkan.
BalasHapusSeperti nya salah pembuar blog ini dalam memahamuctafsir ibnu katsir al a'raf 54, kenapa kesimpulannya bertolak belakang dengan tafsir yang asli, silahkan cek
BalasHapusIni sepertinya yang dijadika. Rujukan :
BalasHapusTaarjamahannya (lihat bagian yang di line merah) :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya) (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan) dan (memaknai lafadz istiwa dengan) makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah) yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”
Wahai mujasimmah wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Ini tafsir yang assli :
BalasHapusوأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [ الشورى:11 ] بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل
” Adapun makna firman Allah Ta’ala : (yang artinya) : ‘Kemudian Dia (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy’. Maka manusia dalam hal ini terbagi dalam (perbedaan) pendapat yang sangat banyak. Bukanlah di sini tempat menjabarkannya. Sesungguhnya (jalan yang seharusnya ditempuh) adalah madzhab as-Salafus Sholih : Maalik, al-‘Auzaa-i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syaafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahuyah, dan yang selain mereka dari para Imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yaitu : menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menetukan/menanyakan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil). PEMIKIRAN YANG TERGAMBAR DALAM BENAK ORANG-ORANG YANG MENYERUPAKAN ALLAH (DENGAN MAKHLUK) DITIADAKAN DARI ALLAH. KARENA SESUNGGUHNYA TIDAK ADA SUATU MAKHLUKPUN YANG SERUPA DENGAN ALLAH, dan : { Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah, dan Dialah (Allah) Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S Asy-Syuura:11) }. Bahkan, seperti yang diucapkan oleh para Imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad -salah seorang guru Imam al-Bukhari- berkata : “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa yang mengingkari segala yang telah Allah Sifatkan untuk diri-Nya maka dia kafir”, dan segala yang telah Allah Sifatkan diriNya maupun yang disifatkan oleh Rasulullah (untuk Allah) bukanlah penyerupaan (tasybih), barangsiapa yang menetapkan untuk Allah Ta’ala berdasarkan ayat – ayat yang jelas dan khabar-khabar (hadits) yang shohih, sesuai dengan Keagungan Allah Ta’ala, dan meniadakan kekurangan dari-Nya, maka dia telah menempuh jalan petunjuk”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 426).
Ini tafsir yang assli :
BalasHapusوأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [ الشورى:11 ] بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل
” Adapun makna firman Allah Ta’ala : (yang artinya) : ‘Kemudian Dia (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy’. Maka manusia dalam hal ini terbagi dalam (perbedaan) pendapat yang sangat banyak. Bukanlah di sini tempat menjabarkannya. Sesungguhnya (jalan yang seharusnya ditempuh) adalah madzhab as-Salafus Sholih : Maalik, al-‘Auzaa-i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syaafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahuyah, dan yang selain mereka dari para Imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yaitu : menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menetukan/menanyakan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil). PEMIKIRAN YANG TERGAMBAR DALAM BENAK ORANG-ORANG YANG MENYERUPAKAN ALLAH (DENGAN MAKHLUK) DITIADAKAN DARI ALLAH. KARENA SESUNGGUHNYA TIDAK ADA SUATU MAKHLUKPUN YANG SERUPA DENGAN ALLAH, dan : { Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah, dan Dialah (Allah) Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S Asy-Syuura:11) }. Bahkan, seperti yang diucapkan oleh para Imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad -salah seorang guru Imam al-Bukhari- berkata : “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa yang mengingkari segala yang telah Allah Sifatkan untuk diri-Nya maka dia kafir”, dan segala yang telah Allah Sifatkan diriNya maupun yang disifatkan oleh Rasulullah (untuk Allah) bukanlah penyerupaan (tasybih), barangsiapa yang menetapkan untuk Allah Ta’ala berdasarkan ayat – ayat yang jelas dan khabar-khabar (hadits) yang shohih, sesuai dengan Keagungan Allah Ta’ala, dan meniadakan kekurangan dari-Nya, maka dia telah menempuh jalan petunjuk”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 426).
bang iqbal justru anda keliatan tidak bbisa memahami bahasa arab, jgn2 tulisan di atas cuma kopas dari blog sebelah, atau anda tidak bisa baca kitab... makna والظاهر المتبادر : adalah "mereka yang menginisiasii makna zhahir", atau bisa di artikan "merka yg berpegang pada lafazd zhahiriyah",, jelas itu maknanya... justru tulisan anda diatas itu mendistorsi maksud ibnu katsir sesungguhnya,, buktinya ente menterjemahkn والظاهر المتبادر menjadi "PEMIKIRAN YANG TERGAMBAR DALAM BENAK ORANG-ORANG..." itu jelas memperkosa teks ibnu katsir... akhi taubatlah dari faham wahabism. jelas kalian khawarij modern yg keluar dari mayoritas ahllussnnah (sawadu a'zham) yaitu asy'ariyyah wa maturidiyyah
Hapus