[6] [WAHABI] [slider-top-big] [WAHABI]

Ujaran Para Sufi Tentang Ladunni, Bedakan Antara Wahbi Dan WAhabi

| 2 Comments
Sesungguhnya di antara ilmu pengetahuan ada yang seperti barang simpanan. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang ahli makrifat kepada Allah. Jika mereka mengucapkan ilmu tersebut, maka mereka yang mengingkari hanyalah orang yang tertipu mengenai Allah. (HR ad-Dailami dalam Musnadil-Firdaus).


Meskipun hadis ini dhaif, namun menurut Syekh Abdullah bin Siddiq al-Ghumairi setidaknya memiliki dua dalil sahih yang menjadi penguat. Yang pertama adalah hadis Abu Hurairah, beliau berkata, “Aku menghafal dua wadah ilmu dari Rasulullah. Yang satu aku sebarkan. Sedangkan yang lain, jika aku sebarkan maka tenggorokan ini akan diputus (dipenggal).”

Penguat kedua adalah fakta yang benar-benar terjadi. “Kenyataannya orang-orang sufi memang mendapatkan ilmu wahbi dari Allah. Dan, yang mengingkari hal itu hanyalah orang-orang dangkal yang tertipu,” kata al-Ghumari. Ilmu wahbi inilah yang dalam sebuah Hadis disebut sebagai bisikan ilham. Rasulullah bersabda, “Di tengah-tengah umat sebelum kalian, ada beberapa orang yang mendapatkan bisikan ilham. Jika didalam umatku ada seorang yang mendapatkan itu, maka dialah Umar.”

Hikmah banyaknya orang-orang Bani Israil yang mendapat ilham adalah karena mereka dibutuhkan oleh kaumnya ketika sedang tidak ada nabi yang diutus ditengah-tengah mereka. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad, sandaran kepada ilham itu sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebab, kendatipun Nabi Muhammad sudah meninggal dunia, namun al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama syariat tetap terjaga dengan sangat baik.


Itulah sebabnya pada masa Sahabat, cukup jarang diantara mereka orang yang mendapatkan ilham, kendatipun mereka adalah para wali Allah yang paling tinggi, ahli mujahadah dan ahli istikamah. Penyebabnya, karena pada saat itu, sandaran umat kepada al-Quran dan sunnah sangatlah kokoh, sehingga ilham memiliki peranan yang sangat kecil.


Berbeda halnya dengan masa-masa setelah itu. Banyak sekali kisah tokoh-tokoh sufi yang mendapatkan ilham. Lalu, ilham tersebut menjadi landasan dari bangunan tarekat yang nereka tata sedikit demi sedikit.

Oleh karena itu, ketika menelaah kitab-kitab tasawuf yang berbicara mengenai tahapan-tahapan suluk, sangat sering ditemukan panduan dalam menyikapi waridât atau bisikan-bisikan yang menerpa hati salik. Sebab, jika salik tidak memiliki bekal ilmu syariat yang mapan, maka sangat mungkin dia akan tertipu dengan bisikan yang datang. Dia mengira bisikan itu sebagai ilham, tapi ternyata hanyalah tipuan yang dihembuskan oleh setan.

Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa oknum sufi yang menyimpang dari syariat. Atau, bahkan kadangkala terdapat oknum tarekat yang sampai mengaku mendapatkan wahyu, dan menobatkan dirinya sejajar dengan para nabi. Naudzubillah min dzalik.

Kalau ada wârid atau bisikan semacam ilham maka harus dirujuk kepada al-Quran dan Sunnah, atau syariat. Jika sesuai, maka bisa di-follow up. Jika tidak sesuai,  berarti bisikan setan. Oleh karena itu, mayoritas ulama menyatakan bahwa ilham tidak bisa dijadikan landasan hukum, sebab penerimanya bukanlah orang yang maksum. Selain itu, sulit sekali menetapkan kriteria tentang mana yang benar-benar ilham, dan mana pula yang merupakan bisikan dari setan. Menurut as-Suhrawadi,pakar fikih madzhab Syafi’I yang sekaligus merupakan tokoh sufi terkemuka, ilham merupakan hujjah (landasan dan lapangan) bagi orang yang mendapatkannya, tidak bagi orang lain.

Wârid, kata Syekh Mahmud Abu asy-Samat, adalah kendaraan pembawa ilmu ladunni, dan wârid, tegas beliau, merupakan buah dari wirid. Menurut Abu Thalib al-Makki, konseptor sufi yang menjadi rujukan utama Imam al-Ghazali dalam penyusunan Ihya’ Ulumiddin, wirid adalah waktu khusus yang digunakan secara istikamah oleh seseorang untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.


Jadi, mengenai apa hakikat wirid, Abu Thalib al-Makki lebih menekankan kepada aspek keistikamahan, dari pada bentuk wirid yang dilakukan. Keistikamahan inilah yang membedakan antara orang yang sudah matang, dan orang yang masih tingkat pemula. Orang yang sudah matang dalam suluknya, dia memposisikan wirid sebagai sebuah kebutuhan yang tidak mungkin ia tinggalkan. Hal ini sangat ampuh dalam menancapkan kemapanan spiritual secara permanen dalam batin seseorang. Sebanyak apapun ibadah atau amalan jika hanya dilakukan sesekali saja, maka nyaris tidak memberikan pengaruh apapun dalam meningkatkan kematangan spiritual seseorang.


Para ulama sufi sepakat bahwa ketekunan dalam beribadah dan berdzikir secara istikamah, dengan penghayatan dan kekhusyukan hati, merupakan sumber utama munculnya ilmu wahbi atau ilmu ladunni.


Hal tersebut sesuai dengan hadis yang ditulis oleh Husain al-Mawarzi dalam az-Zawa’id, Abu nuaim dalam al-Hilyah, dan Ibnu Adi dalam al-Kamil, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Orang yang ikhlas (khusyuk beribadah) kepada Allah selama 40 hari, maka akan muncul mata air hikmah dari hati melalui lidahnya.”


Masa pembiasaan selama 40 hari jika dilakukan dengan penuh ketulusan dan penghayatan, bisa membawa perubahan pada masa-masa berikutnya. Sehingga, dalam hadis lain, Rasulullah juga memberikan jaminan terbebas dari kemunafikan dan neraka bagi orang yang istikamah mengikuti salat jamaah selama 40 hari berturut-turut, dengan menututi takbiratul ihramnya imam, dan ikhlas karena Allah.

Keistikamahan seperti inilah yang bisa memancarkan kesejukan hikmah dan anugerah agung pada diri seorang salik. Sebab, tanpa keistikamahan, ibadah dan kebajikan yang kita perbuat tidak lebih dari sekedar memenuhi  tuntutan selera yang muncul sewaktu-waktu, lalu pergi diwaktu yang lain.